
Kabar Nagari, Padang – Istilah “Islam Nusantara” yang saat ini diapung-apungkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, ternyata mendapatkan penolakan keras dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat (Sumbar). Penolakan inipun sudah disepakati oleh MUI di Kabupaten Kota di Sumbar.
Penolakan ini dilakukan dengan alasa, untuk tidak membiarkan umat menjadi bingung dengan pernyataan orang-orang yang mengusung “Islam Nusantara” tersebut sesuai selerasa. Karena, mereka sama saja menuding Islam Arab sebagai Islam Radikal, Islam penjajah dan lainnya, berarti mengabaikan tugas keulamaan dalam menjaga kesatuan umat.
Ketua MUI Sumatera Barat, Gusrizal Gazahar mengatakan, suatu istilah yang dilahirkan oleh sebagian umat, kemudian disebarkan dengan kekuasaan dari meletakkan tugu sampai mengarahkan berbagai institusi.
“Itu jauh sekali dari “taswiyyatul manhaj” bahkan, mengabaikan bagian umat Islam lain yang belum tentu bisa menerima konsep yang diusung tersebut,” tulis Gusrizal Gazahar di halaman facebooknya yang diunggah, Kamis 26 Juli 2018 Kemarin.
Dalam tulisan itu ia menjelaskan, ketika kaum sekuler, liberal dan pluralis menjadikan Islam Nusantara sebagai payung tumpangan mereka, itu bukan lagi perkara furu’ yang bisa didiamkan begitu saja.
“Ketika sikap diambil oleh ulama Sumbar, kami bukan hanya membaca dan mendengar paparan konsep, sehingga dengan enteng dikatakan salah persepsi,” tegasnya.
“Kami melihat perkataan, perbuatan dan sikap yang dilakukan di bawah konsep itu jauh melenceng. Maka kami memadukan antara pemahaman konsep dengan aplikasi di lapangan, itu lah langkah berpendapat dalam kasus aktual. Kalau tidak demikian, berarti kita membohongi diri sendiri,” ulasnya dalam tulisan.
MUI Sumbar sudah melahirkan sikap dan siap mengajak semua kembali kepada nama agama yaitu Islam tanpa embel-embel apapun.
“Mudah-mudahan tidak dilupakan bahwa telah dua kali saya juga mengkritik istilah “Islam Wasathiy” di hadapan pengurus lembaga keulamaan di Lombok dan di Bogor,” jelasnya.
Satu mumayyizat (keistimewaan) tidak bisa dilabelkan kepada Islam karena akan memunculkan pemahaman yang rancu di tengah umat. Seluruh mumayyizaat harus difahami secara utuh dan tidak bisa berdiri sendiri.
“Kalau hanya kekhususan budaya dan tradisi yang menjadi alasan menambah Islam dengan wilayah dan sifat lainnya, bagi kami itu bukanlah dalil karena semua tradisi dan budaya, tetap kita saring dengan konsep ‘uruf dalam dalil hukum,” tulisnya
“Kami tegak menjaga Ranah Minang tempat kami menghirup udaranya, meneguk airnya sehingga kami merasakan detak nadi kehidupannya. Karena kami yang hidup di tengah masyarakatnya, maka kami bertanggungjawab mengatakan bahwa negeri kami tidak membutuhkan istilah Islam Nusantara itu dan juga tambahan apapun di belakang nama “Islam” karena kata itu sangat sempurna dalam pandangan kami,” ungkapnya
Perlu diketahui, dalam menjalankan dakwah dan mengamalkan tradisi, MUI Sumbar sudah memiliki konsep yang menyatukan ormas Islam apapun di Ranah Minang selama ini. Hal itu tertuang dalam “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, Syara’ Mangato Adat Mamakai”.
“Kami tempatkan falsafah kehidupan itu dalam pengamalan agama kami yang semenjak ulama-ulama tua kami, namanya adalah Islam. Tanpa ada tambahan apapun karena kami tidak mampu menggandengkan apapun dengan nama yang sempurna itu,” sebutnya.
Covesia.com /(fdl/lif)